Sabtu, 06 Maret 2010

Tiada Tauhid Tanpa Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya

KEWAJIBAN pertama yang harus ditunaikan setiap hamba adalah melaksanakan perintah Allah, Sang Pemilik bumi dan langit, dan perintah Rasulullah yang diutus untuk menjadi rahmat kepada para hamba-Nya. Selain itu, kaum muslimin pun diwajibkan untuk membuang jauh-jauh segala perkataan dan pernyataan yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Inilah makna ketaatan yang menjadi konsekuensi dari La Ilaha Illallah.

Karena tiada tauhid tanpa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, tiada kemenangan dan kebahagiaan kecuali dengan mengedepankan serta memprioritaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dari pendapat-pendapat manusia yang debatable, bisa disanggah dan diprotes. Setiap manusia, kecuali Rasulullah, pendapatnya bisa diterima dan bisa ditolak. Setiap imam dan ulama memiliki pendapat yang tidak disenangi oleh yang lainnya.

Orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh kepada teks-teks wahyu, meski manusia seluruh dunia membencinya. Dan orang yang sengsara adalah orang yang mengesampingkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk kemudian berpegang teguh kepada pendapat-pendapat manusia.

...Orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh kepada teks-teks wahyu, meski manusia seluruh dunia membencinya...

Sahl bin Abdullah berkata, “Hendaknya kalian berpegang teguh kepada atsar dan sunnah, karena aku takut bahwa akan datang sebuah masa ketika seseorang menyebutkan nama Nabi Muhammad dan mengikuti ajaran beliau di setiap waktu, maka orang-orang mencelanya, menghindarinya, dan berlepas diri darinya, serta menghinakan dan merendahkannya.”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengomentari pernyataan Sahl dengan mengatakan, “Semoga Allah meramati Sahl, betapa tepat firasatnya itu. Bahkan keadaan sekarang lebih dahsyat dari itu. Kini manusia yang bertauhid, mengikuti ajaran Islam yang benar, memurnikan ibadah hanya kepada Allah, meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, dan taat kepada perintah Rasulullah justru malah dikafirkan.”

Imam Ahmad berkata, “Aku membaca Al-Qur’an, maka aku mendapatkan anjuran taat kepada Rasulullah dalam 33 tempat di dalam Al-Qur’an.” Dengan demikian, tidak halal bagi seseorang untuk menyelisihi ayat-ayat tersebut. Ini mengingat, menentang ayat-ayat itu merupakan sebuah kesesatan dan penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Di dalam surat An-Nisa’ Allah bersumpah bahwa manusia tidaklah dikatakan beriman sehingga mereka mau berhukum dengan regulasi yang ditetapkan Rasulullah, baik dalam persoalan kecil maupun besar. Allah berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An-Nisa’ 65).

Ditambah lagi, Allah tidak pernah mewajibkan umat Islam untuk menaati individu secara definitif, kecuali hanya kepada Rasulullah saja. Allah menyatakan, “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)

Di ayat tersebut Allah memerintahkan para hamba-Nya agar menaati-Nya dan Rasul-Nya. Perintah tersebut mengindikasikan sebuah kewajiban. Dan masih banyak lagi ayat lainnya yang menekankan hal senada. Bahkan Allah menyatakan bahwa menyelisihi perintah-Nya sebagai sebuah kemaksiatan.

...Allah memerintahkan para hamba-Nya agar menaati-Nya dan Rasul-Nya. Perintah tersebut mengindikasikan sebuah kewajiban...

Dia berfirman, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63).

Ayat tersebut mengafirmasi bahwa cobaan (al-fitnah) dan azab pedih akan datang disebabkan menyelisihi perintah Rasul. Imam Ahmad mengatakan, “Tahukah engkau apa itu al-fitnah? Al-fitnah adalah kesyirikan.”

Selain itu, Allah juga mengaitkan kebahagiaan dan kemenangan dengan ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasulullah. Allah menegaskan, “Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)

Tak hanya itu, Rasulullah sendiri menegaskan bahwa siapa saja yang menjauh dari sunnah beliau, maka dia bukan bagian dari umatnya. Anas bin Malik menyebutkan bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa yang enggan terhadap sunnahku, maka dia bukan bagian dari (umat)ku.”

...Rasulullah sendiri menegaskan bahwa siapa saja yang menjauh dari sunnah beliau, maka dia bukan bagian dari umatnya...

Kemudian Abu Hurairah mengungkapkan, Nabi Muhammad bersabda, “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang menaatiku maka dia masuk surga, dan barangsiapa yang melawanku, maka dia telah enggan.” Dengan demikian, menaati hukum-hukum Allah dan ajaran Rasul-Nya merupakan indikasi keimanan, dan sebaliknya, mengabaikan keduanya berarti sebuah kekafiran. Haihata, haihata (!) [ganna pryadha/voa-islam.com]

Minggu, 07 Desember 2008

Pendidikan Murah Masih Menjadi Impian…

Keputusan Mahkamah Konstitusi soal anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sebenarnya bukan hal yang luar biasa. Negara lain banyak yang mengalokasikan anggarannya untuk pendidikan lebih besar daripada itu. Meski demikian, keputusan tersebut seolah-olah luar biasa dan kemudian dijadikan retorika politik untuk meraih citra dan simpati politik.

Padahal, jika dicermati, dalam anggaran pendidikan 20 persen tersebut, tidak seluruhnya untuk pendidikan. Entah salah persepsi pemerintah atau sengaja untuk menyiasati Undang-Undang Dasar 1945, dalam anggaran 20 persen tersebut sudah termasuk di dalamnya gaji pendidik.

Bukannya tidak mendukung upaya meningkatkan kesejahteraan pendidik, tetapi dimasukkannya komponen gaji, anggaran yang betul-betul untuk pendidikan akan terkurangi. Bahkan, bukan mustahil sebagian besar anggaran pendidikan yang jumlahnya sekitar Rp 207,1 triliun dalam RAPBN 2009 akan terpakai untuk gaji, biaya operasional, dan kegiatan administratif. Apalagi, jumlah pendidik, termasuk di dalamnya dosen dan tutor, tidaklah sedikit.

Di sisi lain, persoalan pendidikan yang harus dibenahi sangat banyak dan beragam serta membutuhkan dana yang sangat besar. Siswa yang putus sekolah untuk tingkat sekolah dasar, misalnya, masih sekitar 841.000 siswa dari sekitar 28,1 juta siswa SD/madrasah ibtidaiyah (MI). Sebagian besar karena faktor ekonomi keluarga.

Begitu pun untuk siswa SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs) yang putus sekolah masih sekitar 211.643 siswa setiap tahun. Selain itu, tiap tahun sekitar 452.000 tamatan SD/MI tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dari sisi sarana pendidikan, hingga saat ini masih ada sekitar 200.000 ruang kelas SD yang rusak dan 12.000 ruang kelas SMP yang rusak. Di tingkat SMP, sebanyak 34,3 persen sekolah belum mempunyai perpustakaan dan 38,2 persen tidak memiliki laboratorium.

Secara umum, jumlah buta aksara juga masih tinggi, yakni 10,1 juta orang, menurut klaim Depdiknas, dan sekitar 70 persen di antaranya perempuan. Jumlah buta aksara ini lebih dua kali lipat dari jumlah penduduk Singapura. Padahal, penuntasan buta aksara yang diklaim Depdiknas hanya sekitar 2,4 juta orang per tahun.

Beasiswa dan BOS

Memang untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan dasar, pemerintah mengucurkan dana yang lumayan besar. Untuk mengatasi siswa putus sekolah, misalnya, disediakan beasiswa bagi 690.000 siswa SD/MI yang besarnya Rp 360.000 setiap tahun.

Pemerintah juga mengucurkan biaya operasional sekolah yang jumlahnya dinaikkan. Jika tahun 2008 jumlah BOS untuk siswa SD/MI Rp 254.000 per siswa, tahun 2009 naik menjadi Rp 397.000 per siswa untuk siswa yang bersekolah di kabupaten serta Rp 400.000 untuk siswa yang bersekolah di kota. Adapun BOS SMP naik dari Rp 354.000 per siswa tiap tahun menjadi Rp 570.000 per siswa untuk yang sekolah di kabupaten serta Rp 575.000 per siswa untuk yang bersekolah di kota.

Meski demikian, jumlah ini tetap saja tidak mencukupi karena besarnya unit biaya pendidikan. Untuk tingkat SD, misalnya, unit cost atau besaran biaya rata-rata untuk siswa SD sekitar Rp 750.000 per siswa setiap tahun, sedangkan untuk siswa SMP sekitar Rp 1,5 juta per siswa setiap tahun.

Itu berarti memang masih sangat besar biaya yang harus ditanggung masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan dasar. Beban biaya lebih besar harus ditanggung masyarakat untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi. Karena itu, tidak salah jika ada yang menyebut, pendidikan murah bagi masyarakat masih merupakan impian.

Hasil penelitian

Di bidang penelitian, banyak temuan atau inovasi yang dilakukan peneliti-peneliti Indonesia. Meski demikian, hasil-hasil penelitian tersebut kurang dipublikasikan sehingga tidak diketahui masyarakat, termasuk kalangan industri. Padahal, penelitian tersebut sebagian bisa diterapkan untuk memecahkan persoalan masyarakat. Hasil penelitian tersebut juga banyak yang bernilai komersial.

Di sisi lain, anggaran serta penghargaan untuk peneliti masih sangat minim. Itulah sebabnya Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengusulkan agar 8.000 peneliti yang tersebar di berbagai lembaga masing-masing mendapat biaya penelitian Rp 100 juta setahun. Anggaran yang dibutuhkan seluruhnya hanya sekitar Rp 800 miliar. Tak terlalu mahal jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh.

Sementara itu, di bidang lingkungan, sepanjang tahun 2008, nyaris tidak ada perubahan signifikan. Pembalakan liar terus berlangsung dan penegakan hukum di bidang lingkungan masih sangat lemah. Izin eksplorasi hutan juga terus dikeluarkan.

Di sisi lain, rehabilitasi lahan yang dicanangkan pemerintah lebih banyak bersifat seremonial dan mencari citra politik yang positif.

Luas lahan kritis di sepanjang daerah aliran sungai, misalnya, tercatat sekitar 77 juta hektar yang tersebar di berbagai wilayah Tanah Air. Jika sudah demikian, tinggal menunggu waktu saja beragam bencana akan datang. Masyarakat juga yang akan menjadi korban dan alam yang kemudian disalahkan.

Sumber: Laporan Akhir Tahun Humaniora, Kompas.Com, 02/12/08

perkenalan

Selasa, 20 November 2007

JENDERAL AS PERINGATKAN TENTANG TEGAKNYA KHILAFAH

JENDERAL AS PERINGATKAN TENTANG TEGAKNYA KHILAFAH PDF Print E-mail

Jenderal AS peringatkan tentang tegaknya Khilafah
Ditariknya Tentara AS dari Irak akan Menggoncangkan Timur Tengah

oleh Robert Burns
Washington - Ditariknya tentera AS sebelum kestabilan Iraq tercapai akan mengakibatkan 'Ketidakstabilan Segera' (instant instability) di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi dan kemungkinan Iran juga, menurut Jenderal Tentera AS pada Jumaat.

Jenderal Richard Myers, dalam konfrensi pers yang dilakukan Pentago mengatakan Amerika Syarikat mesti mempertahankan kedudukannya di Iraq, tempat elemen teroris yang dipimpin oleh Abu Musab Al-Zarqawi dari Jordan (orang kedua yang paling dikehendaki AS setelah pemimpin Al-Qaeda, Osama Bin Laden).

'Jika Zarqawis diizinkan sukses menaklukkan Iraq berdasarkan pandangan hidup mereka, dan akan menjadi awal tegaknya kekhilafahan seperti yang mereka impikan, kekuasaan (kekhilafahan) itu akan meluas di wilayah tersebut' katanya. Beliau menggunakan 'khilafah' sebagai penunjukkan terhadap konsep sebuah pemerintahan tunggal Islam yang dipimpin oleh seorang penganut agama yang ekstrim.

'Anda berkata mengenai ketidakstabilan. Hal itu akan segara terjadi di wilayah tersebut, di Arab Saudi, disekitar negar-negara Teluk, mungkin Iran, Syria, Turki' tambahnya . 'Dalam hal ekonomi saja, akan kacau-bilau yang akan mempengaruhi dunia, kemudian mereka akan melanjutkan tekanan, juga turut meneruskan gerakan mereka dan pada pandangan saya; mereka akan melibatkan serta memperluas aktiviti teroris'

'Mereka akan dimuliakan melalui kemenangan ini' ujarnya lagi.

Myers muncul dihadapan wartawan untuk berbincang mengenai perjalanan 10-hari mengunjungi tentera AS di Eropah, Timur Tengah dan Asia. Dia menemukan moral pasukan tentera AS adalah tinggi, termasuk di Iraq dan Afghanistan.

Rakyat Irak akan melangsungkan pemilu pada pertengah oktober dalam sebuah referandum nasional untuk menetapkan konstitusi Irak. Jika hal itu disetujui akan menjadi dasar bagi pemilihan pemerintah baru pada pertengahan desember. Proses politik ini dianggap sebagai kunci stabilitas di Irak dan menjadi syarat bagi tentera AS untuk mundur dari Irak.

(Sumber : www. Khilafah.com dari Associated Press; 27 Agustus 2005)

Jumat, 16 November 2007

Jilbab dan khimar

Masalah Jilbab dan Khimar, Busana Muslimah dalam Kehidupan Sehari-Hari

Diasuh Ust. M. Shiddiq Al Jawi




PEI-Online : 22/4/2004

1. Pengantar

Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya : khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.

Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat –atau menggunakan bahan tekstil yang transparan-- tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.

Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.

Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.

Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing –termasuk busana jilbab-- sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan in sya-allah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi SAW :

“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no. 145)

“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,’Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?” Rasululah SAW menjawab,”Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)

2. Aurat dan Busana Muslimah

Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.

Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.

Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.

Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.

a. Batasan Aurat Wanita

Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT :

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nuur : 31)

Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan). (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz III hal. 316).

Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha) : “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan,’Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz XII hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).

Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi SAW sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW kepada Asma` binti Abu Bakar :

"Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya." (HR. Abu Dawud)

Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.

b. Busana Muslimah dalam Kehidupan Khusus

Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (QS An Nuur : 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) (HR. Abu Dawud). Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.

Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.

Namun demikian syara' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.

Mengenai dalil bahwasanya syara' telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :

"Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini." (HR. Abu Dawud)

Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.

Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :

"Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya."(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Juz I hal. 441) (Al-Albani, 2001 : 135).

Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda : "Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu."

Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara' telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.

c. Busana Muslimah dalam Kehidupan Umum

Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.

Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.

Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.

Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.

Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).

Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.

Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).

Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :

"Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nuur : 31)

Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab) :

"Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya." (QS Al Ahzab : 59)

Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu 'Athiah RA, bahwa dia berkata :

"Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata,’Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Maka Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!"(Muttafaqun ‘alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).

Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).

Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu 'Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab –untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)—maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.

Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.).

Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini –yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila asfal-- diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda :

“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi SAW menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’(yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” (HR. At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih) (Al-Albani, 2001 : 89)

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah --yaitu jilbab-- telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.

Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlahHendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(An-Nabhani, 1990 : 45-51)

3. Penutup

Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam Al Qur`an.

Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah.

DAFTAR BACAAN

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`andan As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6. (Solo : At-Tibyan).

----------. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man Khalafa Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri Wajhiha wa Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Media Hidayah).

Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani Press).

Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).

Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).

Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Ma’arif)

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut : Darul Ummah).

Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).

Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, dan Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan ke-5. (Solo : At-Tibyan).

Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat (Hijab Al-Mar`ah wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Alih Bahasa Hawin Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo : At-Tibyan)

Et. al.002. 5 Risalah Hijab Kumpulan Fatwa-Fatwa Tentang Pakaian, Hijab, Cadar, Ikhtilath, Berjabat Tangan, dan Khalwat (Majmu’ Rasail fi Al Hijab wa As-Sufur). Alih Bahasa Muzaidi Hasbullah. Cetakan ke-1. (Solo : Pustaka Arafah).

onita, Arina. 2001. Jilbab dan Hijab. Cetakan ke-1. (Jakarta : Bina Mitra Press)[]

Hukum Makan Tape

Bismillahirrahmaanirrahiim

HUKUM MAKAN TAPE

Untuk menjawab apa hukum makan tape, mesti diselidiki terlebih dahulu unsur-unsur yang terkandung di dalam tape. Bila di dalam tape mengandung unsur khamer (etanol), maka mengkonsumsi tape, meskipun tidak mabuk, atau sudah dianggap sebagai makanan tradisional masyarakat, hukumnya adalah haram. Namun, yang perlu dijelaskan terlebih dahulu adalah “apa khamr itu”.

Untuk menetapkan apa substansi dari khamer itu, perlu dilakukan penyelidikan (tahqiq manath) sebagai berikut: Pertama, fakta khamer dimasa Rasulullah saw dan shahabat. Kedua, penelitian modern terhadap ‘apa substansi dari khamer itu’.

FAKTA KHAMER DI MASA RASULULLAH DAN SHAHABAT

Beberapa riwayat berikut ini bisa menunjukkan apa khamer itu, sekaligus cara pembuatannya, serta bahan-bahan yang bisa digunakan untuk membuat khamer di masa Rasulullah saw, hingga turun ayat yang melarang kaum muslimin meminum khamer.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab pernah berpidato sebagai berikut; “Amma ba’du. Wahai manusia! Sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamer. Ia terbuat dari salah satu dari lima unsur; anggur, korma, madu, jagung,m dan gandum. Khamer adalah sesuatu yang mengacaukan akal.”

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir, bahwa ada seorang laki-laki dari negeri Yaman bertanya kepada Rasulullah saw tentang sejenis minuman yang biasa diminum orang-orang di Yaman. Minuman tersebut terbuat dari jagung yang dinamakan ‘mazr’. Rasulullah saw bertanya kepada laki-laki tersebut,”Adakah ia memabukkan?” Orang itu menjawab,”Ya.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, artinya, “Setiap yang memabukkan adalah haram. Allah berjanji kepada orang-orang yang meminum minuman yang memabukkan, bahwa Dia akan memberi mereka minuman dari thinah al-khabal. Ia bertanya, “Apa itu thinah al-khabal, ya Rasulullah!” Rasulullah saw menjawab, “Keringat ahli-ahli neraka atau perasan tubuh ahli neraka.”

Dalam al-Sunan terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer.”

Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu musa al-Asy’ariy bahwa ia berkata, “Saya mengusulkan kepada Rasulullah saw agar beliau memberikan fatwanya tentang kedua jenis minuman yang dibuat di Yaman, yaitu al-bit’I dan al-murir. Yang pertama dibuat dari madu yang kemudian dimasak dengan dicampur unsur lain. Yang kedua terbuat dari gandum dan biji-bijian yang telah dicampuri dan dimasak. Wahyu yang turun kepada Rasulullah saw ketika itu belum lengkap dan sempurna. Kemudian Rasulullah saw bersabda, artinya, “Setiap yang memabukkan adalah haram.’

Diriwayatkan dari Ali, bahwa Rasulullah saw telah melarang mereka minum perahan biji gancum (bir) [Hr. Abu Daud dan Nasa’iy]

Para ‘ulama dahulu berbeda pendapat dalam menetapkan apa khamer itu. Ulama-ulama seperti Ibrahim al-Nakhai, Sofyan Tsauri, Ibnu Abi Laila, Syuraik, Ibnu Syibrina, semua ‘ulama Kufah, sebagian besar ulama Bashrah dan Abu Hanifah menyatakan bahwa khamer yang dibuat dari perahan anggur adalah haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak. Adapun yang terbuat dari bahan selain anggur, maka yang diharamkan hanyalah yang banyak saja. Minum sedikit tidak mengapa selama tidak menyebabkan mabuk.[lihat Sayyid Sabbiw, Fiqh Sunnah, lihat pada bab Hudud]. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid, mengumpulkan perbedaan pendapat para ‘ulama tentang khamer sebagai berikut; Pertama, jumhur ‘ulama fiqh dan jumhur ‘ulama hadits menyatakan bahwa bir itu haram, baik sedikit maupun banyaknya, karena ia memabukkan. Kedua, jumhur ‘ulama Irak, Ibrahim al-Nakha’i dan kalangan tabi’in, Sofyan al-Tsauri, Ibnu Abu Lila, Syuraik, Ibnu Syibirimah, Abu Hanifah dan seluruh fuqaha Kufah dan kebanyakan ‘ulama Basrah berpendapat bahwa yang diharamkan dari semua minuman yang memabukkan itu adalah mabuknya sendiri, bukannya benda yang diminum itu.

Pandangan-pandangan para ulama tentang substansi khamer masih perlu dikritisi, mengingat penelitian yang jernih dan mendalam terhadap substansi khamer di masa mereka belumlah secanggih di masa modern. Selain itu, kajian konprehensif terhadap dalil-dalil yang berkaitan dengan khamer akan menunjukkan mana pendapat yang lebih tepat mengenai substansi khamer.

Beberapa riwayat menyatakan bahwa khamer yang dilarang oleh Rasulullah saw bisa terbuat dari anggur, korma, madu, jagung, syair, gandum dan lain-lain. Sebenarnya, benda-benda semacam ini bukanlah benda-benda haram. Allah swt berfirman, artinya, “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik.”[al-Nahl: ayat 67]. Kemubahan benda-benda semacam ini juga berdasarkan keumuman nash-nash al-Quran yang membolehkan manusia menikmati apa saja yang ada di muka bumi ini, kecuali benda-benda yang diharamkan untuk dikonsumsi. Sehingga lahir kaedah ushul fiqh, “Asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.”

Berdasarkan penjelasan di atas, kita bisa menetapkan, bahwa secara substantif, korma, jagung, syair, gandum, dan lain-lain, bukanlah benda yang diharamkan Allah swt dan RasulNya. Ini juga berlaku bagi benda-benda lain. Benda apapun yang ada di muka bumi ini hukum asalnya mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Akan tetapi ketika benda-benda yang mubah ini (jagung, korma, jagung dll) diproses dengan proses tertentu, ia menghasilkan ‘benda lain yang memabukkan’ (khamer). Kemudian, Allah mengharamkan ‘benda lain yang memabukkan ini (khamer)’, namun tetap tidak mengharamkan bahan bakunya (jagung, korma, jagung dll). Oleh karena itu, penyelidikan terhadap apa khamer itu (substansinya), harus diarahkan kepada ‘benda lain yang muncul setelah ada proses tertentu ini’, bukan diarahkan kepada bahan bakunya. Sebab, bahan-bahan baku untuk membuat khamer, jelas-jelas berhukum mubah. Kita mesti menyelidiki ‘substansi benda lain (khamer)’ yang dihasilkan melalui proses-proses tertentu ini, bukan pada bahan bakunya, atau sekedar akibat yang diakibatkan ketika minum ‘benda lain ini” (mabuk).

Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada kita bisa memahami bahwa proses pembuatan khamer bisa dengan cara diperas, atau dicampur dengan unsur-unsur lain. Imam Abu Daud dan lain-lain meriwayatkann sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda, artinya, “Sesungguhnya orang yang memeras anggur pada hari-hari memetiknya kemudian menjualnya kepada orang yang akan menjadikan (perasan tersebut) sebagai khamer, sesungguhnya ia telah menceburkan dirinya ke dalam neraka.” Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu musa al-Asy’ariy bahwa ia berkata, “Saya mengusulkan kepada Rasulullah saw agar beliau memberikan fatwanya tentang kedua jenis minuman yang dibuat di Yaman, yaitu al-bit’I dan al-murir. Yang pertama dibuat dari madu yang kemudian dimasak dengan dicampur unsur lain. Yang kedua terbuat dari gandum dan biji-bijian yang telah dicampuri dan dimasak. Wahyu yang turun kepada Rasulullah saw ketika itu belum lengkap dan sempurna. Kemudian Rasulullah saw bersabda, artinya, “Setiap yang memabukkan adalah haram.’

Berdasarkan riwayat ini kita bisa menetapkan bahwa pada masa Rasulullah saw dan shahabat pembuatan khamer dilakukan dengan cara memeras bahan-bahan baku tertentu, seperti korma, jagung, gandum, dan lain-lain. Atau dengan cara mengolah dan mencampur bahan-bahan baku tertentu dengan unsur-unsur lain (fermentasi). Proses-proses semacam inilah yang mereka lakukan untuk mendapatkan khamer. Ini dari sisi bahan dan proses pembuatan khamer di masa Rasulullah saw.

APAKAH PENGHARAMAN KHAMER KARENA BENDANYA SENDIRI ATAU KARENA UNSUR MEMABUKKANNYA

Sisi lain yang perlu dibahas adalah perbedaan pendapat mengenai “apakah pengharaman khamer itu karena bendanya sendiri, atau karena memabukkannya?”

Pendapat yang menyatakan, khamer diharamkan karena unsur mabuknya, bukan karena substansi khamernya sendiri, didasarkan suatu anggapan, bahwa ‘illat (atau sebab) diharamkannya khamer adalah karena mabuknya. Dengan kata lain, khamer menurut mereka adalah jenis minuman yang membuat mabuk atau tertutupinya akal. Mereka berargumentasi dengan firman Allah swt, artinya, “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamer dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat”[al-Maidah:91]. Mereka juga mengetangahkan riwayat-riwayat shahih dari Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw bersabda,”Setiap yang memabukkan adalah khamer dan setiap khamer adalah haram.” Al-Tirmidzi dan al-Nasaa’iy meriwayatkan sebuah hadits, artinya, “Minuman yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya juga diharamkan.” Berdasarkan riwayat-riwayat ini, mereka berpendapat, khamer diharamkan bukan karena dzatnya, akan tetapi karena unsur memabukkannya. Oleh karena itu, mereka mengkategorikan semua minuman yang memabukkan termasuk bagian dari khamer.

Pendapat ini sangat lemah. Pendapat yang lebih sharih adalah, khamer itu dilarang karena dzatnya sendiri. Artinya, khamer bukanlah benda yang bersifat maknawi, akan tetapi ia adalah sebutan tertentu atau nama bagi benda tertentu. Adapun bantahan atas pendapat di atas adalah sebagai berikut;

1. Tidak ada ‘illat pada makanan dan pakaian. Nash-nash yang berhubungan tentang larangan khamer sama sekali tidak mengandung ‘illat. Dampak-dampak buruk akibat minum khamer bukanlah ‘illat pengharaman khamer. Sebab, bila dampak-dampak buruk ini (semisal, munculnya sikap permusuhan, lalai sholat dll) bisa dihilangkan artinya hukum minum khamernya juga akan lenyap. Sebab, kaedah ‘illat berbunyi, “al-‘illat taduru ma’a ma’luul wujudan wa ‘adaman” [Illat itu beredar kepada apa yang di’illati ada atau tidak adanya]. Seseorang yang minum bir akan tetapi dia tidak mabuk, dan malah menimbulkan perasaan ukhuwah, melenyapkan kebencian dan permusuhan, atau menambah semangat dalam bekerja, tentu aktivitas minum bir tidak lagi haram. Sebab, minum bir tidak lagi menimbulkan dampak-dampak buruk bagi peminumnya. Jelas, hal ini tentu akan bertentangan dengan sabda Rasulullah saw, “Minuman yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya adalah haram.”[HR. Abu Daud, dan Turmudzi] Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang mengkonsumsi minuman yang memabukkan walaupun sedikit maka ia telah terjatuh pada tindak haram. Dan kita tahu, seorang yang minum sedikit, tentu tidak akan mabuk. Dan hadits itu menekankan bahwa walaupun seseorang minum sedikit (dan tidak mabuk), akan tetapi karena benda yang diminum itu adalah khamer, maka ia telah melakukan kemaksiyatan kepada Allah. Oleh karena itu, dampak-dampak buruk akibat minum khamer (memabukkan) bukanlah ‘illat diharamkannya khamer, akan tetapi ia hanya dampak saja, tidak lebih dari itu. Adapun mengapa khamer dilarang oleh Allah, maka selama tidak ada keterangan dalam al-Quran dan Sunnah yang menerangkan hal itu, kita harus menerima pengharamannya begitu saja tanpa perlu bertanya sebab pengharamannya.

2. Ada riwayat yang sangat jelas menyatakan bahwa pengharaman khamer bukan karena unsur mabuknya akan tetapi karena dzatnya sendiri. Abu ‘Aun al-Tsaqafiy meriwayatkan hadits dari ‘Abdullah bin Syaddad dan Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Khamer itu diharamkan karena bendanya itu sendiri, sedangkan (diharamkan) mabuknya itu adalah karena hal lain.” Nash ini tidak memerlukan takwil lagi bahwa khamer diharamkan karena dzatnya bukan karena sifat memabukkannya. Walhasil, khamer diharamkan karena benda khamer itu sendiri memang haram, bukan karena memabukkannya.

3. Riwayat lain yang menguatkan bahwa khamer adalah dzat tersendiri adalah, “ Jika khamer berubah menjadi cuka, maka ia boleh dikonsumsi (cukanya). Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusy menyatakan, bahwa para ‘ulama sepakat bolehnya minum khamer yang berubah menjadi cuka. Ini didasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dari Anas bin Malik yang menceritakan bahwa Abu Thalhah bertanya kepada Nabi saw tentang anaka-anak yatim yang mendapatkan warisan khamer. Rasulullah saw bersabda, artinya, “Tumpahkanlah khamer itu”. Abu Thalhah bertanya lebih lanjut, “Apakah tidak boleh aku olah menjadi cuka”. Nabi saw berkata lagi, “Jangan.” Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan al-Tirmidzi. Hadits ini hanya menunjukkan larangan untuk mengolah khamer menjadi cuka. Akan tetapi bila khamer sudah berubah menjadi cuka, dibolehkan untuk diminum. Khamer yang berubah menjadi cuka tentu bukan khamer yang bermakna “semua sifat yang memabukkan”. Sebab, candu, ganja, opium dan lain-lain tidak bisa berubah menjadi cuka. Ini menunjukkan bahwa khamer adalah benda tersendiri. Dalam penelitian modern menunjukkan bahwa etanol (substansi dari khamer) memang bisa berubah menjadi cuka (asam asetat).

Argumentasi ini sudah cukup untuk mengokohkan pendapat yang menyatakan bahwa khamer adalah zat yang memiliki susbtansi tersendiri. Khamer bukanlah sifat.

PENELITIAN KHAMER DI MASA MODERN

Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai khamer, bahan serta cara pembuatannya di masa Rasulullah saw dan shahabat. Pada masa itu, khamer bisa dibuat dari berbagai macam bahan dengan cara diperas atau dicampur dengan bahan-bahan lain. Penelitian modern menunjukkan, khamer tidak lain adalah etanol. Zat inilah yang menimbulkan mabuk bagi orang yang meminumnya. Mengapa etanol bisa disimpulkan sebagai khamer? Ini didasarkan pada penelitian di laboratorium modern terhadap bahan baku dan proses pembuatan khamer di masa Rasulullah saw dan shahabat. Bahan baku yang diteliti adalah anggur, misalnya. Mengapa anggur, sebab ia merupakan salah satu bahan baku yang digunakan di masa Rasulullah saw untuk membuat khamer. Prosesnya dilakukan dengan cara fermentasi (pemerasan kemudian dicampur dengan bahan lain = fermentasi). Sebab, proses ini juga pernah dilakukan di masa Rasulullah saw dan shahabatnya. Kemudian bahan baku tersebut diproses dengan proses fermentasi. Setelah menghasilkan ‘khamer’, selanjutnya diteliti substansi khamer tersebut, apa kandungannya, serta unsur-unsur pembentuknya.

Penelitian modern menunjukkan bahwa proses fermentasi anggur akan menghasilkan etanol. Prosesnya adalah sebagai berikut;

1. Pada saat anggur diperas maka akan terkumpul sejumlah karbohidrat dan glukosa. Karbohidrat kemudian bereaksi dengan enzim sehingga menghasilkan glokusa.

2. Glukosa akan mengalami proses fermentasi (peragian), dan menghasilkan etanol. Reaksinya adalah sebagai berikut;



enzim


C6H12O6 CH3CH2OH

(glukosa) (etanol)

Sumber karbohidrat untuk proses peragian sehingga menghasilkan etanol bisa diperoleh dari jagung, ketela, kentang, beras, biji-bijian yang kaya karbohidrat, maupun buah-buahan (korma, anggur, berri hitam dll).

Peragian buah-buahan, sayuran atau biji-bijian berhenti bila kadar alkohol telah mencapai 14-16%. Jika diinginkan kadar yang lebih tinggi, campuran itu harus disuling.[Fessenden & Fessenden, Kimia Organik, ed. III, Hal.267]

Dari reaksi di atas kita bisa memahami, bahwa substansi benda yang disebut khamer adalah etanol, bukan yang lain. Adapun metanol, ia tidak termasuk dari khamer, sebab metanol sangat berbahaya untuk diminum, Oleh karena itu, keharaman minum etanol, masuk dalam pembahasan hukum dlarar (hukum tentang bahaya).

Walhasil untuk memproduksi khamer tidak hanya dibatasi oleh bahan-bahan baku yang telah disebutkan di dalam hadits, akan tetapi ia meliputi semua bahan baku yang bisa difermentasi sehingga menghasilkan etanol.

Fakta ilmiah menunjukkan bahwa etanol sering dikonsumsi dan digunakan untuk membuat minuman-minuman keras yang sangat memabukkan. Berdasarkan hadits Abu ‘Aun al-Tsaqafiy dari ‘Abdullah bin Syaddad dan Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Khamer itu diharamkan karena bendanya itu sendiri, sedangkan (diharamkan) mabuknya itu adalah karena hal lain.” , kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan substansi khamer adalah etanol, bukan benda yang lain.

HUKUM MAKAN TAPE

Berdasarkan uraian di atas, kita bisa menetapkan apa mengkonsumsi hukum tape. Tape adalah ketela yang telah mengalami proses fermentasi (peragian). Dalam proses peragian ketela akan terjadi proses pengubahan karbohidrat menjadi glukosa, sekaligus pengubahan glokasa menjadi etanol. Berdasarkan penelitian ilmiah menunjukkan bahwa tape yang telah terfermentasi (secara sempurna atau tidak sempurna) mengandung glukosa dan etanol. Di sisi lain, kita telah paham bahwa etanol adalah substansi dari khamer. Walhasil, mengkonsumsi tape yang telah terjadi fermentasi sehingga menghasilkan etanol, hukumnya haram. Sebab, anda sedang mengkonsumsi etanol (khamer ).

Reaksi utuhnya adalah sebagai berikut:

Karbohidrat --------peragian-----glokusa------------peragian-------etanol (khamer).

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa mengkonsumsi tape dibolehkan, karena proses pembuatannya alami, dan sudah dianggap sebagai makanan tradisional dan tidak memabukkan; merupakan pendapat yang tidak tepat. Pengharaman benda tidak didasarkan pada proses pembuatannya -- alami atau tidak--, dan juga tidak boleh didasarkan pada fakta bahwa tape sudah dianggap sebagai makanan tradisional. Dalil untuk menetapkan halal atau haramnya suatu benda haruslah al-Quran dan Sunnah. Selama benda itu tidak diharamkan berdasarkan nash al-Quran dan Sunnah, maka benda itu mubah untuk dikonsumsi.

Pada penjelasan di atas telah jelas bahwa tape mengandung unsur etanol. Walhasil ia haram dimakan.

Ada yang menyatakan, buah-buahan yang telah masak juga mengandung etanol. Tentunya mengkonsumsi buah-buah yang telah masak diharamkan, karena ia mengandung etanol. Untuk menjawab keraguan ini, kami perlu menyatakan bahwa dalam buah-buahan yang telah masak tidak mengandung etanol sama sekali. Gugus atom yang terdapat di dalam buah-buahan yang masak sangatlah komplek (senyawa komplek). Kalaupun ada gugus OH, tidak secara otomatis gugus OH yang ada di dalam buah-buahan masak itu adalah alkohol (etanol). Akan tetapi struktur kimia pada buah-buahan masak, kebanyakan komplek dan tidak mungkin mengandung etanol. Bukti lain menunjukkan bahwa Rasulullah saw dan para shahabat dalam banyak riwayat biasa mengkonsumsi buah-buahan yang telah masak. Ini merupakan dalil bahwa buah-buahan yang telah masak boleh-boleh saja untuk dikonsumsi. Selain itu berdasarkan keumuman nash-nash al-Quran kita bisa menyimpulkan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Akan tetapi Rasulullah saw telah melarang kaum muslim mengkonsumsi buah anggur yang telah berbusa. Pelarangan ini ini bisa kita mengerti, karena anggur yang telah berbusa ini telah mengalami proses fermentasi sehingga menghasilkan etanol. Hal ini juga berlaku untuk buah-buahan yang lain. Jika bisa dibuktikan bahwa buah-buahan tersebut –setelah terfermentasi—menghasilkan etanol, maka ia haram untuk dikonsumsi.

Wallahu a’lam bi al-shawab